Identitas suatu budaya dapat beragam bentuk dan jenis dengan keunikan dan kearifan lokalnya masing-masing. Salah satu dari sekian banyak bentuk budaya khas Nusantara adalah ragam tenunan. Kain tenun mbojo, misalnya, merupakan kain tenun khas asal daerah Bima dan beberapa daerah di sekitar Gunung Tambora, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kain tenun mbojo telah dikenali sejak dahulu sebagai tenunan Kerajaan Bima, yaitu salah satu Kerajaan Islam yang tersohor di Nusantara bagian Timur. Oleh karenanya, keberadaan kain ini tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam pada masa itu.

Bagi wanita yang keluar rumah tanpa rimpu dianggap melanggar norma agama dan adat. Cara pemakaian rimpu sendiri adalah menggunakan 2 kain tenun (sebagai sarung) masing-masing untuk bagian kepala dan kaki (sebagai rok). Pada bagian kepala sarung tenun mbojo dikenakan sedemikian rupa hingga menutupi wajah dan tubuh bagian atas. Sarung yang satunya lagi dijadikan atau dikenakan serupa rok atau sarung pada umumnya.
Menariknya jenis kain tenun mbojo umumnya memiliki beberapa jenis dan fungsi yang dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: tembe (sarung), sambolo (destar), weri (sejenis ikat pinggang), dan baju mbojo.

Tembe adalah kain tenun bernilai tinggi berupa sarung yang ditenun dengan cara tradisional dan terbuat dari benang kapas. Konon, kawasan Mbojo, yaitu sentra kain tenun mbojo di Bima memiliki produksi tanaman kapas yang melimpah. Kelimpahan kapas tersebut dan peraturan adat kesultanan telah mewajibkan setiap wanita Bima dapat menenun agar mendorong produksi kain tenun mbojo.
Kain tenun mbojo jenis tembe ini masih terbagi lagi dalam beberapa jenis yang didasarkan pada jenis bahan bakunya. Jenis yang pertama adalah tembe songke (sarung songket) lazim dikenakan wanita saat upacara adat atau pun upacara keagamaan dan tidak untuk kebutuhan pakaian sehari-hari. Tembe Songke umumnya memiliki warna dasar merah hati, coklat, dan hitam. Bahan bakunya untuk benang kain tenun ini didatangkan dari luar Bima, yaitu dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Para pedagang Mbojo selain menjual barang dagangannya di negara-negara tersebut mereka juga membeli bahan yang sekira dapat digunakan untuk tenunan. Untuk motifmya berupa motif garis-garis kecil yang dipadukan dengan motif bunga samobo, bunga satako, pado waji dan kakando. Motif ini diperindah dengan hiasan bahan benang emas dan perak.

Jenis tembe yang kedua adalah tembe bali lomba memiliki warna dasar dan motif yang hampir sama dengan tembe bali mpida, hanya saja motif kotak-kotaknya berukuran besar. Ketiga, tembe me’e adalah kain tenun dengan warna dasarnya hitam (me’e) tanpa motif. Tembe me’e dibagi lagi menjadi tiga yang didasarkan pada daerah asalnya, yaitu: tembe me’e ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu, Kecamatan Palibelo; wera, dari Kecamatan Wera; dan tembe me’e donggo dari Donggo Ipa. Keempat adalah tembe nggoli yang sebenarnya hampir sama degan tembe kafa na’e hanya saja menggunakan benang buatan pabrik. Kain tenun jenis ini baru mulai dikenal masyarakat Bima sejak tahun 1970-an.
2. Sambolo (destar)
Adalah sejenis ikat kepala tradisional mbojo khusus diperuntukkan bagi laki-laki. Ikat kepala ini pada zaman dahulu merupakan hasil tenun unggulan setelah tembe mengingat bahwa laki-laki yang memasuki usia remaja wajib memakai sambolo sebagai salah satu bentuk menaati peraturan adat masa itu.
Sambolo juga kerap disebut sambolo songke karena warna dasar serta motifnya hampir sama dengan tembe songke. Ada pula jenis lain yang baru dikenal pada era 1950-an, yaitu sambolo bate (sambolo batik) yang terbuat dari kain batik dan bentuknya serupa blankon Jawa tetapi jenis ini kurang digemari.
3. Weri (ikat pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang tradisional mbojo yang terbuat dari malanta salolo, yaitu kain putih tanpa motif yang memang ditenun khusus untuk bahan salolo. Warna ikat pinggang ini beragam mulai dari kuning, merah hati, atau coklat dan berhiaskan motif Pado Waji, Kakando, dan Bunga Satako.
4. Baju Mbojo
Baju Mbojo sebenarnya merupakan kreasi penenun wanita dari kain tenunan mereka. Baju ini mulai populer sejak tahun 1980-an. Warna dasar dan motifnya tentu saja hampir sama dengan motif tenun yang sudah dibahas, hanya saja ada beberapa dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tentunya tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat lokal.
Pemerintah daerah dan masyarakat mendukung secara positif keberadaan baju mbodo. Pemerintah bahkan menganjurkan masyarakatnya agar mencintai baju ini karena harganya mahal, baju ini hanya terjangkau bagai kalangan menengah ke atas. Harga mahal ini pula yang mengakibatkan Baju Mbojo kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.
Indah Sangat Sob kain tenunnya… 🙂
Artikel ulasannya juga cukup detail,,,
Thanks udah share,,, 🙂
Salam bLogger